Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M.
A. KEADAAN MASYARAKAT SUMATRA SEBELUM MASUKNYA ISLAM
Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.
B. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA UTARA
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara pada abad ke- 7 M. Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat di kawasan ini.
Hal ini berdasarkan catatan tua Cina yang menyebutkan adanya sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi telah membuat hubungan diplomatic dengan kerajaan Cina. Ta Shi menurut istilah Cina adalah istilah yang diberikan kepada orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima hari berlayar dari Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang selat Malaka. Ini menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai dalam waktu lima hari.
Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang datang ke Nusantara, karena Laut Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada rome dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah.
Disamping itu , terdapat satu factor besar yang menyebabkan para pedagang Islam Arab memilih Sumatera Utara pada akhir abad ke- 7 M. Yaitu karena terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka karena disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda melalui Singapura menuju Kantun, Cina. [1]
KERAJAAN PERLAK
Kata Perlak berasal dari nama pohon kayu besar yaitu “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak). Kayu ini sangat baik digunakan untuk bahan dasar pembuatan perahu kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan perahu kapal. Dan di Perlak banyak tumbuh jenis pepohonan ini, sehingga disebut negeri Perlak (Perlak).[2]
Perlak merupakan salah satu pelabuhan perdagangan yang maju dan aman pada abad ke- 8 M. sehingga menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang muslim. Dengan demikian, secara tidak langsung berkembanglah masyarakat Islam di daerah ini. Factor utamanya yaitu karena sebab pernikahan antara saudagar-saudagar muslim dengan perempuan-perempuan pribumi. Sehingga menyebabkan lahir keturunan-keturunan yang beragama Islam.
Hal ini semakin berkembang sehingga berdirinya kerajaan Islam Perlak yaitu pada hari selasa bulan muharram tahun 225 H (840 M). dan sultannya yang pertama adalah Syed Maulana Abdul Aziz Shah yang bergelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah. Kemudian Bandar Perlak diganti namanya menjadi Bandar Khalifah.[3]
Islam terus berkembang di Perlak, dan hal ini terlihat jelas pada abad ke – 13 M. pada abad ini, perkembangan Islam di Perlak melebihi dari daerah-daerah lain di Sumatera. Hal ini bersumber pada riwayat Marco Polo yang tiba di Sumatera pada tahun 1292 M. Ia mengatakan bahwa pada saat iu di Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan, yang semuanya menyembah berhala kecuali satu, itu kerajaan Perlak.
Kerajaan Perlak terus berdiri hingga akhirnya bergabung dalam kerajaan Islam Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Dzahir (1289 – 1326 M)[4].
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
Raja pertamanya adalah Sultan Malik as Shaleh. Beliau adalah keturunan dari Raja Islam Perlak, yaitu Makhdum Sultan Malik Ibrahim Syah Joan (365 – 402 H/976 – 1012 M).
Ada beberapa hal yang masih simpang siur mengenai Sultan Malik as Shaleh. Ada yang menyebutkan beliau memeluk agama Hindu yang kemudian diIslamkan oleh Syekh Ismail. Ada pula yang menyebutkan bahwa beliau sudah memeluk agama Islam sejak awal.
Sebelum bernama Samudra Pasai, kerajaan ini bernama kerajaan Samudra saja. Kerajaan Samudra merupakan kerajaan yang makmur dan kaya. Juga memiliki angkatan tentara laut dan darat yang teratur.
Kerajaan Samudra semakin bertambah maju, yang kemudian dikenal dengan nama “Samudera Pasai”, yaitu setelah dibangunnya Bandar Pasai pada masa pemerintahan Raja Muhammad.
Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dengan Kerajaan Perlak sangatlah baik. Dan hal ini makin dipererat dengan menikahnya Sultan Malik as Shaleh dengan putri raja Perlak.
Puncak kejayaan kerajaan Samudra Pasai yaitu pada masa pemerintahan Sultan Al Malik Al Zahir (1326—1349/757—750 H).
KERAJAAN ACEH
Kerajaan ini berdiri pada abad ke- 13 M. Pada awalnya Aceh merupakan daerah taklukan kerajaan Pidir. Namun berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah, Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dan berdaulat penuh menjadi Kerajaan. Atas jasa beliau, akhirnya Sultan Mghiyat Syah dinobatkan menjadi Raja pertama.
Kerajaan Aceh mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607—1638 M).
C. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA SELATAN
Palembang adalah kota yang memiliki letak geografis yang sangat strategis. Sejak masa kuno, Palembang menjadi tempat singgah para pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang akan pergi ke negeri Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur barat ke India dan negeri Arab serta terus melewati jalur barat ke India dan negeri Arab serta terus ke Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak menggunakan jalur ini. Persinggahan ini yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Palembang (Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh It’sing, ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina dan tertahan di Palembang. Kemudian ia membuat catatan tentang kota dan penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke– 7 M yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan Keddah. Dengan demikian dapat disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (pada waktu itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadah menurut agama Islam. [5]
Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang erat antara perdagangan yang diselenggarakan oleh kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu dengan mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja Ta-che (sebutan untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa di Sumatera Selatan pun telah terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya kampong Arab muslim di pantai Barat Sumatera.[6]
Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia tidak mengadakan invasi militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan perdagangan. System penyebaran Islam yang tidak kenal misionaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan hanya melaui perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan penyebaran agama Budha, dapat menerima kehadiran Islam di wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki kekuatan maritim yang tangguh. Walaupun ada yang meragukan hal tersebut karena melihat kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi ikut berlayar bersama para pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera pribumi mengadakan ekspedisi ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama Islam.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia tidak serta merta menunggu para pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab ataupun sekitarnya untuk mencari tambahan pengetahuannya tentang ajaran agama Islam.
KESULTANAN PALEMBANG
Pada waktu daerah Palembang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit, di daerah ini ditempatkan seorang Adipati bernama Ario Damar. (14—15 H/1447 M). Pada awalnya ia beragama Hindu, lalu kemudian memeluk Islam. Hal ini menunjukkan bahwasanya pada waktu itu, Islam sudah dominant di Palembang.
Pada suatu hari, Ario Damar mendapat hadiah salah seorang selir dari Prabu Kertabumi, yang bernama Putri Campa yang sedang hamil tua. Yang kemudian lahir dari rahimnya seorang anak yang bernama Raden Patah.
Pada tahun 1473, raden Patah bersama adiknya Raden Kusen (Ario Dillah), menghadap Prabu Kertabumi. Mereka mendapat kepercayaan untuk membangun desa Bintoro, yang nantinya berkembang dengan pesat dan menjadi kerajaan Islam Demak yang pada akhirnya menghancurkan Majapahit.
Pada tahun 1528, Demak di serang oleh kerajaan Pajang dan mengalami kekalahan. Para pembesar kerajaan dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan bermigrasi ke Palembang yang kemudian mendirikan kerajaan Islam Palembang
Pada akhirnya kesultanan Palembang hilang karena dihapus status kesultanannya oleh colonial Belanda.
[1] A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran pada seminar di Aceh (Al ma’arif, 1993), hlmn. 193 – 195.
[2] A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam……………hlmn. 152.
[3] A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam……………hlmn. 195.
[4] A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam…………..hlmn. 202.
[5] Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan, edt. Gadjahnata & Edi Swasono (Jakarta : UI – Press, 1986), hlmn. 19.
[6] Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan…………hlmn. 206.